Jumat

AQIQAH MELEPAS JIWA YANG TERGADAI (TERTAHAN)



ALLaah 'Azza wa Jalla telah memberitakan bahwa seorang hamba itu tergadai dengan perbuatannya, sebagaimana firman ALLaah 'Azza wa Jalla.

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

Tiap-tiap jiwa tergadai (tertawan) dengan apa yang telah diperbuatnya.
(al-Muddatsir 74 : 38)

ALLaah 'Azza wa Jalla berfirman.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا كَسَبُوا

Mereka itulah orang-orang yang tertahan/terpenjara (di neraka) disebabkan perbuatan mereka sendiri. 
(al-An’am 6 : 70)

Maka orang yang tergadai adalah orang yang tertahan, kemungkinan disebabkan oleh perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain. 

Bahkan orang yang tergadai adalah orang yang tertahan dari urusan yang akan dia raih, hal itu terjadi terkadang disebabkan oleh perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain. 

Dan ALLaah 'Azza wa Jalla telah menjadikan aqiqah terhadap anak sebagai sebab pembebasan gadainya dari syaitan yang telah berusaha mengganggunya semenjak kelahirannya ke dunia dengan menusuk pinggangnya. 

Maka aqiqah menjadi tebusan dan pembebas si anak dari tahanan syaitan terhadapnya, dari pemenjaraan syaitann di dalam tawanannya, dari halangan syaitan terhadapnya untuk meraih kebaikan-kebaikan akhiratnya yang merupakan tempat kembalinya. 

Maka seolah-olah si anak ditahan karena setan menyembelihnya (memenjarakannya) dengan pisau (senjata) yang telah disiapkan syaitan untuk para pengikutnya dan para walinya.

Syaitan telah bersumpah kepada Rabbnya bahwa dia akan menghancurkan keturunan Adam kecuali sedikit di antara mereka.[1]

Maka syaitan selalu berada di tempat pengintaian terhadap si anak yang dilahirkan itu semenjak keluar di dunia. Sewaktu si anak lahir, musuhnya (syaitan) bersegera mendatanginya dan menggabungkannya kepadanya, berusaha menjadikannya dalam genggamannya dan pemahamannya serta dijadikan rombongan pengikut dan tentaranya.

Syaitan sangat bersemangat melakukan ini. Dan mayoritas anak-anak yang dilahirkan termasuk dari bagian dan tentara syaitan. Sehingga si anak berada dalam gadai ini. Maka ALLaah 'Azza wa Jalla mensyariatkan bagi kedua orang tuanya untuk melepaskan gadainya dengan sembelihan yang menjadi tebusannya. Jika orang tua belum menyembelih untuknya, si anak masih tergadai dengannya. Oleh karena itu, Nabi ﷺ bersabda.

اَلْغُلاَمُ مُرْنَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ، فَأَرِيْقُوْا عَنْهُ الدَّمَ وَأَمِيطُواعَنْهُ الأَذَى

Seorang bayi tergadai dengan aqiqahnya, maka alirkan darah (sembelihan aqiqah) untuknya dan singkirkan kotoran (cukurlah rambutnya) darinya. [2]

Maka beliau ﷺ memerintahkan mengalirkan darah (menyembelih aqiqah) untuknya (si anak) yang membebaskannya dari gadai.

Ketika kita diperintahkan dengan menghilangkan kotoran yang nampak darinya (si anak dengan mencukur rambutnya) dan dengan mengalirkan darah yang meghilangkan kotoran batin dengan tergadainya si anak, maka diketahui bahwa itu untuk membebaskan anak dari kotoran batin dan lahir. 

ALLaah Azza wa Jalla lebih mengetahui maksud-Nya dan maksud Rasul-Nya’. 

(Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 74, karya Ibnul Qayyim)

_______
[1]. Sebagaimana yang ALLaah swt firmankan dalam surat An-nisa 4:118
لَعَنَهُ اللَّهُ ۘ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

yang dia (syaitan) itu dilaknati ALLaah dan syaitan itu mengatakan: "aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hambaMu bahagian yang sudah ditentukan/berikan (untuk saya),

[2]. Hadits yang disebutkan Imam Ibnul Qayyim rahimahuLLaah ini dengan lafazh :

مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيٌَةٌ، فَأَهْرِيْقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوا عَنْهُ الأَذَى

Bersama seorang bayi ada aqiqah, maka alirkan darah (yaitu, sembelihan aqiqah) untuknya dan singkirkan kotoran (yaitu cukurlah rambutnya) darinya.
(HR Bukhari secara mu’allaq dan diwashalkan oleh Thahawi, juga riwayat Abu Dawud, 2839, Tirmidzi no. 1515)

_______________


BEBERAPA PENDAPAT ULAMA TENTANG AQIQAH SAAT DEWASA


Seorang Tabi'in, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:

 [ عققت عن نفسي ببختية بعد أن كنت رجلاً ].

“Aku mengaqiqahkan atas diriku dengan seekor onta betina setelah aku dewasa.”
[Lihat kitab Syarah As Sunnah, 11/264]


Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata:

 [ إذا لم يعق عنك فعق عن نفسك وإن كنت رجلاً ].
“Jika belum diaqiqahi atasmu, maka aqiqahkanlah atas dirimu, meskipun kamu seorang lelaki dewasa.”
[Lihat Kitab Al Muhalla, 2/204 dan Syarh As Sunnah, 11/264]


ونقل عن الإمام أحمد أنه استحسن إن لم يعق عن الإنسان صغيراً أن يعق عن نفسه كبيراً وقال :[ إن فعله إنسان لم أكرهه]

Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia lebih baik jika belum diaqiqahi seseorang dimasa kecilnya maka ia mengaqiqahkan atas dirinya ketika dirinya sudah besar, beliau juga berkata: “Jika dilakukan oleh seseorang maka aku tidak membencinya.”
[Lihat kitab Tuhfat Al Mawdud Bi Ahkam Al Mawlud, (hal. 69 Asy Syamela)]


Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata:

” الفصل التاسع عشر : حكم من لم يعق عنه أبواه هل يعق عن نفسه إذا بلغ ، قال الخلال : باب ما يستحب لمن لم يعق عنه صغيرا أن يعق عن نفسه كبيرا

“Pasal ke 19: Hukum siapa yang belum diaqiqahi atasnya kedua orangtuanya, apakah ia mengaqiqahi dirinya jika sudah baligh, berkata Al Khallal: “Bab Anjuran bagi siapa yang belum diaqiqahi atasnya semasa kecil, maka ia boleh mengaqiqahi atas dirinya sendiri ketika dewasa.


Syeikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:

” والقول الأول أظهر ، وهو أنه يستحب أن يعق عن نفسه ؛ لأن العقيقة سنة مؤكدة ، وقد تركها والده فشرع له أن يقوم بها إذا استطاع ؛ ذلك لعموم الأحاديث ومنها : قوله صلى الله عليه وسلم : (كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى) أخرجه الإمام أحمد ، وأصحاب السنن عن سمرة بن جندب رضي الله عنه بإسناد صحيح....”
انتهى من “مجموع فتاوى الشيخ ابن باز” (26/266) .

“Dan pendapat yang pertama lebih jelas, yaitu dianjurkan ia mengaqiqahi dirinya, karena aqiqah adalah sunnah muakkadah dan orangtuanya telah meninggalkannya, maka disyariatkan kepadanya agar melakukan jika ia mampu, yang demikian itu berdasarkan keumuman beberapa hadits, diantaranya; sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih atasnya (hewan aqiqahnya) pada hari ke tujuhnya, digunduli kepalanya dan memberikan nama.”
[HR. Ahmad dan para penulis kitab Sunan, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih]

[Lihat kitab Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Baz, (26/266)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar